Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa
kahyangan
bernama Sanghyang Nurrasa
memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang
Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun
diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan
kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi
pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan,
Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian
menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang
Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian
berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk
yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa
rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta
kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru.
Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri,
atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama
Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau
disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan
berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki
Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para
dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan,
Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara
Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa
takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya
merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan
tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga
putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan
Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan
Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan
karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara
Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan,
Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama.
Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal
dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian,
yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma
menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal
dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya
diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena
masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan
perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan
sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya
melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut
sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun
berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya
sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui
ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh
keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar
Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama
Togog dan Semar.
kapetik saka:
Slamet Muljana, 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhrathara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar