Seperti yang kita mafhum bersama
bahwa negeri kita Indonesia merupakan sebuah negeri kepulauan yang tiap pulau
terdapat berbagai macam kebudayaan tradisional yang beraneka ragam. Di antara
tradisi yang beragam itu kita ingin membahas salah satu upacara adat yang
terdapat di Jawa Tengah khususnya Surakarta yang disebut dengan Tingkepan atau
Mitoni. Upacara adat Tingkepan atau Mitoni sendiri merupakan sebuah upacara
adat yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan pertama ketika kandungan sang
ibu hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh bulan.
Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara adat ini adalah untuk
mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat segar
bugar dalam menanti kelahirannya yang akan datang.
Kronologi singkat dari upacara
tingkepan ini sendiri adalah menggelar selametan pada bulan ketiga, lima dan
kemudian puncaknya adalah pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun menggelar
sebuah prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu berserta
bayi yang di kandung, agar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi
kelahirannya.
Pertama-tama sang calon ayah dan
calon ibu yang akan melakukan upacara Tingkepan duduk untuk menemui tamu
undangan yang hadir untuk menyaksikan upacara Tingkepan ini di ruang tamu atau
ruang lain yang cukup luas untuk menampung para undangan yang hadir. Setelah
semua undangan hadir maka barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di
bawa keluar untuk melakukan ritual pembuka dari acara tingkepan itu sendiri
yakni sungkeman. Sungkeman adalah sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu
dengan cara mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu
dengan diapit oleh kerabat dekat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu
dari pihak pria, kepada bapak dan ibu dari pihak puteri untuk memohon doa
restu. Baru kemudian bersalaman dengan para tamu lainnya.
Setelah acara sungkeman selesai
barulah kemudian digelar upacara inti yakni memandikan si calon ibu setelah
sebelumnya peralatan upacara tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan bahan
dalam upacara memandikan ini sendiri adalah antara lain bak mandi yang dihias
dengan janur sedemikian rupa hingga kelihatan semarak, alas duduk yang terdiri
dari klosobongko, daun lima macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang,
daun opo-opo, daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari
pisang raja, makanan kecil, polo wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang
terdiri dari nasi putih dengan lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi
busana untuk ganti, antara lain kain sidoluhur; bahan kurasi; kain lurik yuyu
sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang terdiri dari mawar,
melati dan kenanga; cengkir gading dan parang serta beberapa kain dan handuk.
Setelah semua bahan lengkap tersedia
maka barulah kemudian si calon ibu pun di mandikan. Pertama-tama yang mendapat
giliran memandikan biasanya adalah nenek dari pihak pria, nenek dari pihak
wanita, dan kemudian barulah secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari pihak
wanita, para penisepuh yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya
dilakukan oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun
diharuskan untuk memberikan doa dan restunya agar kelak calon bayi yang akan
dilahirkan dimudahkan keluarnya, memiliki organ tubuh yang sempurna (tidak
cacat), dan sebagainya.
Sementara itu, ketika calon ibu
dimandikan maka yang dilakukan oleh calon ayah berbeda lagi yakni mempersiapkan
diri untuk memecah cengkir (kelapa muda) dengan parang yang telah diberi
berbagai hiasan dari janur kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya
sekali ayun dan harus langsung terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya
sekali ayun dan harus langsung terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika
istrinya melahirkan sang anak tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah
semua upacara itu terlewati, langkah selanjutnya adalah sang calon ayah dan
calon ibu yang telah melakukan upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk
kamar dan mengganti pakaian untuk kemudian bersiap melakukan upacara
selanjutnya yakni memotong janur. Prosesi memotong janur ini sendiri adalah
pertama-tama janur yang telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si
calon ibu untuk kemudian dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris
yang telah dimantrai. Proses memotong ini sama seperti halnya ketika memecah
cengkir, sang calon ayah harus memotong putus pada kesempatan pertama.
Setelah selesainya upacara memotong
janur ini pun kemudian dilanjutkan dengan upacara berikutnya yakni upacara
brojolon atau pelepasan. Upacara brojolan ini sendiri adalah sebuah upacara
yang dilakukan oleh calon ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalam upacara
ini pada kain yang dipakai oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang
bergambar tokoh pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas
memasukkan cengkir dilakukan oleh ibu dari pihak wanita dan ibu dari pihak pria
bertugas untuk menangkap cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu).
Ketika cengkir itu berhasil ditangkap maka sang ibu itu pun harus berucap yang
jika dibahasa Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun wanita tak masalah. Kalau
pria, hendaknya tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri haruslah cantik
layaknya Batari Kamaratih.” Kemudian seperti halnya bayi sungguhan, cengkir
yang tadi ditangkap oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk
ditidurkan di kasur.
Langkah berikutnya yang harus
dilakukan oleh calon ibu ini pun harus memakai tujuh perangkat pakaian yang
sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut adalah kain khusus dengan motif
tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih, kain
sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben
liwatan.
Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar mendapatkan wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Kedua, calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan.
Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak mendapatkan kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara.
Keempat, calon ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur.
Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya agar kelak dapat menjadi satria yang berwibawa.
Keenam, calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik.
Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah seperti pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat.
Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar mendapatkan wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Kedua, calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan.
Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak mendapatkan kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara.
Keempat, calon ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur.
Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya agar kelak dapat menjadi satria yang berwibawa.
Keenam, calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik.
Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah seperti pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat.
Sambil mengenakan kain-kain itu,
ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan tamu-tamu lainnya
tentang pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-kain yang
telah dipakai itu tentu saja berserakan dilantai dan karena proses pergantiannya
hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk dengan posisi
melingkar layaknya sarang ayam ketika bertelur. Dengan tanpa dirapikan terlebih
dahulu kain-kain tersebut kemudian dibawa ke kamar.
Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai
penutup dari rangkaian prosesi upacara tersebut adalah calon ayah dengan
menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap dan belankon
warna bangun tulip, dan calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau
dan kemben banguntulap keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul.
Di sini sebagai acara penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu
dilakukan pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari
pihak pria pun memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon
ibu untuk dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri
adalah agar kelak anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya.
Pada waktu makan ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang sudah
digoreng.
Maksudnya agar kelak anak yang akan
lahir berkulit kuning dan tampan seperti burung kepodang. Sedangkan ikan lele
demaksudkan agar kelak kalau lahir putri kepala bagian belakang rata, supaya
kalau dipasang sanggul dapat menempel dengan baik. Usai makan bersama, acara
dilanjutkan upacara penjualan rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir
dari seluruh acara tingkepan atau mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang
degan dibekali oleh-oleh, berupa nasi kuning yang ditempatkan di dalam takir
pontang dan dialasi dengan layah. Layah adalah piring yang terbuat dari tanah
liat. Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang
ditutup kertas dan diselipi jarum berwarna kuning keemasan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar